Home / rekomendasi flim bioskop terbaru / REVIEW – LOST IN STARLIGHT

REVIEW – LOST IN STARLIGHT

Salah satu keunggulan animasi adalah kemampuan meruntuhkan batasan penceritaan. Sebuah medium yang membuka diri pada kebebasan tanpa terikat oleh aturan. Ketika live action memotret realita suatu peristiwa, animasi mengeksplorasi ragam posibilitas cara untuk meluapkan rasa yang tertanam di dalamnya. Lost in Starlight hanya akan menjadi sajian fiksi ilmiah generik bila dipresentasikan sebagai live action, tapi medium animasi membuatnya bisa lebih berekspresi.

Kisahnya berlatar di Korea Selatan tahun 2051, di mana kunjungan ke Mars oleh para astronot bukan lagi lompatan mencengangkan. Han Ji-won selaku sutradara (turut menulis naskahnya bersama Kang Hyun-joo) enggan mengimajinasikan masa depan yang suram. Disusun oleh gaya visual ala Studio Ghibli, ia tampilkan gambaran futuristik indah nan kaya warna. Mungkin inilah dunia yang ingin Han Ji-won tinggali.

Di salah satu sudut kota, nampak beberapa karyawan perusahaan pindahan memakai drone untuk mengangkat barang ke lantai 4. Mesin-mesin di film ini meringankan pekerjaan manusia, namun tak sampai terlampau cerdas hingga berpotensi memberontak layaknya di banyak kisah fiksi ilmiah. Dunia Lost in Starlight tampil futuristik, namun masih menyisakan kedekatan dengan realita. Bukan sebuah utopia yang terlalu sempurna.

Kehidupan protagonisnya pun jauh dari sempurna. Nan-young (Kim Tae-ri) adalah astronot yang berharap dipilih untuk berangkat di ekspedisi ke Mars berikutnya, namun pihak NASA masih meragukan kondisi psikisnya. Pasalnya, pada tahun 2026, ibu Nan-young yang juga seorang astronot, tewas akibat terjangan gempa di Mars.

Di sisi lain ada Jay (Hong Kyung), seorang ahli reparasi yang telah lama mengubur impiannya menjadi musisi. Serupa Nan-young, kebahagiaan Jay juga lenyap di antara bintang-bintang. Tapi bintang bernama takdir pula yang memberi mereka kebahagiaan baru, saat serangkaian kebetulan berjasa mempertemukan, kemudian makin mendekatkan Nan-young dan Jay.

Naskahnya mengambil pendekatan khas romansa Korea arus utama guna menjabarkan kisahnya, di mana tiada kesubtilan dalam presentasi romansa dua tokoh utamanya. Bungkus gaya itu dengan format animasi yang ekspresif, maka hasilnya adalah sebuah “match made in heaven“. Han Ji-won mampu melukiskan segala perasaan yang protagonisnya rasakan di tiap interaksi mereka.

Lost in Starlight pun berhasil menghadirkan romansa yang manis, menggemaskan, tak jarang menggelitik, dan terpenting, sangat likeable. Apalagi barisan balada romantis senantiasa mengiringi penceritaannya. Han Ji-won memang memiliki sensitivitas terkait seleksi lagu. Di salah satu adegan, Jay dan Nan-young mampir ke toko musik dan menemukan piringan hitam berisi soundtrack film Once (2007). Sang sutradara memilih kiblat yang tepat.

Konfliknya meninggi begitu Nan-young akhirnya terpilih untuk berangkat ke Mars. Jay selalu mendukungnya, namun di sisi lain ada ketakutan luar biasa andai ekspedisi itu berujung maut sebagaimana yang menimpa ibu Nan-young. Rasanya banyak dari penonton bakal merasa familiar, bahkan bisa jadi pernah bersinggungan dengan situasi dilematis yang serupa.

Emosinya berkulminasi di klimaks cantik sekaligus epik, ketika Han Hi-won memaksimalkan kapasitas mediumnya untuk menyuguhkan perjalanan sureal yang protagonisnya alami. Rintangan meningkat, bahaya meninggi, tapi toh pada akhirnya cinta terlalu kokoh untuk dapat dihancurkan. Di Lost in Starlight, cinta begitu kuat sampai bisa menembus batasan seperti apa pun yang semesta sediakan.

Tagged:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *